Sejak kecil, Paul Davies termasuk ‘anak bandel’, sering membuat jengkel orang tuanya. Dian bukan anak nakal dalam artian suka membuat keributan melainkan dalam sikap kritis menanggapi sesuatu. Pertanyaan “mengapa?” yang sering dilontarkan pada orang tuanya mengakibatkan kejengkelan mereka. Mengapa tidak boleh keluar bermain? Karena akan hujan. Mengapa hujan? Karena pengamat cuaca berkata demikian. Mengapa dia berkata demikian? Karena ada badai bertiup dari Perancis. Mengapa ada..? jawaban apa yang didapat dengan pertanyaan memburu seperti ini? Jawabannya adalah “karena Tuhan membuatnya dengan cara demikian, dan itulah adanya!”
“Tuhan” jawaban tertinggi, terakhir bagi sebagian orang untuk menutupi ketidaktahuan soal misteri bagi dirinya. Bagi kaum beragama, jawaban ini tidak salah, benar adanya. Namun bagaimana dengan kaum ilmuwan yang beragama, percaya adanya Tuhan? apakah “Tuhan” cukup menjadi jawaban atas misteri pertanyaan? Tidak! Ilmuwan, peniliti atau apa sebutannya akan melanglang buana mencari jawaban. Tuhan, sepertinya ditempatkan sebagai ‘energi’ yang menggerakkan untuk mencari jawaban atas teka-teki-Nya. Jangan dianggap ini keraguannya tentang Tuhan, melainkan lebih sebagai upaya membaca teka-teki Tuhan, menggerakkan daya pikir yang tidak lain merupakan anugerah besar Tuhan untuk manusia.
Tuhan menciptakan alam semesta beserta isinya: itu pasti! Selanjutnya pertanyaan itu dapat kita tingkatkan lebih lanjut: apakah alam semesta begini adanya sejak dahulu? Apakah kemunculan bumi ‘tiba-tiba’ sejak dahulu sampai detik ini memang demikian? Kenapa Tuhan memilih bentuk bumi bulat, pepat pada kutubnya? Mengapa kita melihat matahari terbit dari barat, bukan sebaliknya atau tidak dari selatan ke utara? Bukankah selain bulat, masih ada bentuk lain yang dapat dipilih Tuhan? bukankah selain timur-barat, masih ada arah-arah yang lain, yang dapat dipilih Tuhan?
Pertanyaan-pertanyaan yang mengejutkan oleh Paul Davies kembali dilemparkan ke hadapan pembaca. Posisinya sebagai ilmuwan fisika, mengantarkan pertanyaan yang berbau realitas tertinggi harus menyeretnya pada jawaban rasional dan logis. Baginya pencarian ilmiah merupakan perjalanan menuju yang tak dikenal. Tiap-tiap kemajuan membawa penemuan-penemuan baru dan tak diduga-duga, dan menantang pikiran dengan konsep-konsep yang luar biasa dan kadang-kadang sulit.
Dalam buku ini, Paul Davies mengeksplorasi apakah sains modern dapat memberikan kunci yang akan membuka sandi-sandi alam semesta. Davies mengkaji kembali pertanyaan-pertanyaan besar yang telah menarik perhatian manusia selama ribuan tahun, dan proses tersebut, di antara sekian topik yang ada, ia mengeksplorasi asal-usul dan evolusi kosmos, hakikat hidup dan kesadaran.
Dapatkah alam menciptakan dirinya sendiri? pertanyaan kuno yang kini masih hangat diperbincangkan, meski secara teologi itu tidak mungkin. Alam ada karena ada yang menciptakan, tidak bisa muncul dengan sendirinya. Hubungan Tuhan dengan materi sama-sama merupakan subjek kesulitan doktrinal. Beberapa mitos penciptaan, semacam versi Babilonian, melukiskan gambaran kosmos yang tercipta di luar chaos primordial. Menurut pandangan ini, meteri mendahului, dan ditata oleh, aktivitas kreatif supranatural. Gambaran serupa dipertahankan dalam Yunani klasik: Demiurge dari Plato dibatasi oleh kaharusan untuk bekerja dengan matematika yang telah ada (hal. 45).
Kepercayaan akan adanya wujud Ilahi yang memulai alam semesta dan kemudian “duduk bersenang-senang” mengamati kejadian-kejadian yang membentang tidak mengambil langsung dalam urusan-urusan seterusnya, dikenal dengan “deisme”. Di sini hakikat Tuhan ditangkap melalui gambaran tukang pembuat jam yang sempurna, semacam insinyur kosmis, yang mendesain dan membangun sebuah mekanisme yang luas dan rumit dan kemudian membiarkanya bergerak. Gagasan ini, setidaknya gugur sebab ternyata alam semesta terus membarui diri, berkembang, bahkan Tuhan ternyata Mahasibuk mengatur ciptaan-Nya. Dia, tidak enak-enak duduk manis di singgasana-Nya.
Pertanyaan selanjutnya, yang pernah dikemukakan Einstein, apakah Tuhan memiliki pilihan tertentu dalam menciptakan dunia seperti adanya. Apakah dunia memang harus demikian adanya, ataukah dapatkah ia menjadi sebaliknya? Dan jika dunia dapat menjadi sebaliknya, jenis penjelasan apa yang harus kita cari tentang mengapa ia demikian adanya?
Spinoza memandang objek-objek dalam dunia fisik sebagai atribut-atribut Tuhan, bukan sebagai ciptaan Tuhan. Spinoza menolak ide tentang Tuhan yang transenden yang menciptakan alam semesta sebagi tindakan bebas. Bagi Spinoza, Tuhan tidak memiliki pilihan dalam masalah ini: “Benda-benda tidak diwujudkan oleh Tuhan dengan cara atau tatanan apapun yang berbeda dari apa yang sebenarnya telah diperolehnya”, paparnya. Apakah keadaan ini dapat kita mengerti alasannya?
Biasanya, para teolog berargumentasi bahwa agen kreatif yang memberikan penjelasan alam semesta adalah Tuhan. sedangkan filosof John Leslie berargumentasi bahwa “tuntutan etis”. Dengan kata lain, alam semesta eksis karena eksistensinya mengandung kebaikan. “percaya kepada Tuhan,” tulis Leslie, “adalah percaya bahwa alam semesta eksis karena memang semestinya eksis”. Ide ini tampaknya aneh. Bagamaina “tuntutan etis” dapat menciptakan alam semesta? Seakan-akan Tuhan terpaksa berbuat baik untuk menciptakan alam semesta seperti sekarang ini.
Doktrin penciptakan ex nihilo merupakan upaya berani membelah paradoks dengan mengusulkan wujud niscaya nir-waktu yang mewujudkan alam semesta meterial lewat kekuatan Ilahi sebagai aktivitas pilihan bebas. Elemen kunci yang diperkenalkan di sini adalah Kehendak Ilahi. menurut definisi, kehendak bebas memerlukan kontingensi, karena kita mengatakan bahwa sebuah pilihan adalah bebas hanya jika ia dapat menjadi sebaliknya.
Alternatif lainnya, orang dapat menganut pandangan thesitik klasik dan berargumentasi bahwa Tuhan merupakan wujud niscaya yang menciptakan alam semesta kontingen sebagai aktivitas kehendak bebas-Nya. Yakni, Tuhan tidak memiliki pilihan mengenai kualitas-kualitas dan eksistensi-Nya sendiri, tetapi Dia betul-betul memliki pilihan mengenai alam semesta yang Dia ciptakan. Pilihan-pilihan itu mewujud sebagaimana alam semsta yang kita lihat: bumi bulat, bumi yang ada penghuni makhluknya.
Membaca sandi di dalam sandi, menerjemahkan teka-teki ke dalam teka teki: itu kesan saya ketika membaca buku ini. Mungkin terlalu lemah pemahaman saya mencerna ungkapan-ungkapan yang dilontarkan Davies dalam buku ini. Seakan-akan dilempar dari argumentasi satu ke argumen yang lain. Pertanyaan yang dikemukakan dijawab secara samar dalam bahasa sains (fisika) sehingga bagi kalangan awam, seperti saya, akan berpikir ulang: dimana letak jawaban atas pertanyaannya? Tetapi, inilah gaya Paul Davies saat mengungkapkan argumennya di dalam buku yang lain.
Bagus juga dibaca, untuk mencari dan menambah wawasan lain tentang jagad raya ini yang tidak sekedar menjawab pertanyaan dengan menjawab “memang dari sononya begitu!”.
Judul : Membaca Pikiran Tuhan, Dasar-Dasar Ilmiah Dalam Dunia yang Rasional
Judul Asli : The Mind of God, The Scientific Basis for a Rational World
Penulis : Paul Davies
Penerjemah : Drs. Hamzah, M.A
Penerbit : Pustaka Pelajar Yogyakarta
Tahun terbit : cet. III Februari 2012
Tebal : xviii + 402 halaman
ISBN : 979-9483-87-5
kaha.anwar@gmail.com
No comments:
Post a Comment