TRENGGALEK, KOMPAS.com - Tiga orang warga Dusun Gandu, Desa Gamping, Kecamatan Suruh, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur dijebloskan ke kerangkeng bambu oleh keluarganya. Tindakan itu terpaksa dilakukan karena ketiga warga itu mengalami gangguan kejiwaan.
Ketiga orang yang diisolasi dalam krangkeng bambu masing-masing, Seno (50) telah dijebloskan kerangkeng keluarganya sejak 15 tahun silam. Disusul Giman (40) dijebloskan ke kerangkeng bambu sejak pertengahan 2005.
Lalu Yati (52), perempuan ini juga dimasukkan kerangkeng bambu oleh keluarganya sejak Desember 2010. Kerangkeng Yati dibuat dekat kandang ayam yang ada di belakang rumah. Ketiganya dimasukkan ke kerangkeng bambu berukuran 2 x 1,5 meter.
Karmiati (45), adik kandung Seno mengaku kakaknya pernah dibawa ke RSJ Porong sembilan kali dengan biaya sendiri. Hanya saja upaya itu tidak membuahkan hasil karena setelah dibawa pulang penyakit gangguan jiwanya kambuh lagi.
“Kami khawatir kalau orangnya dibiarkan berkeliaran malah mengganggu masyarakat. Karena sebelumnya, Seno juga merusak kaca rumah tetangga serta melempari setiap orang ditemuinya,” ungkap Karmiati kepada Surya Online.
Daripada mengancam keselamatan orang lain, akhirnya keluarganya sepakat membuat kerangkeng dari bambu untuk mengurung Seno. Keluarga khawatir jika penyakitnya kambuh, Seno merusak dan melukai para tetangganya.
Tindakan mengurung Seno itu telah diketahui para perangkat desa, bahkan sesaat setelah dikurung juga memberitahu kepolisian.
“Kami sudah bermusyawarah dengan perangkat desa dan polisi, daripada mengganggu warga lainnya kami buatkan kerangkeng di belakang rumah,” jelasnya.
Penjelasan sama juga dikemukakan Narno (37) adik ipar Yati yang menjelaskan keluarganya memasukkan Yati ke kerangkeng bambu karena khawatir penyakit gangguan jiwanya membahayakan orang lain.
Apalagi Yati juga pernah mengancam ibu kandungnya, Mbok Wiji (67) sehingga jika dibiarkan berkeliaran dikhawatirkan membahayakan keselamatannya. “Dulu ibunya pernah dilempar batu hingga berdarah,” tuturnya.
Meski dimasukkan ke kerangkeng bambu, Yati masih dapat diajak dialog layaknya manusia normal. Hanya saja alur pembicaraannya terkadang melenceng serta tidak sambung antara pertanyaan dengan jawabannya.
Di dalam kerangkeng, Yati juga mengenakan pakaian lengkap, namun perempuan itu buang air kecil dan air besar di dalam kerangkeng bambu. Sehari-hari Mbok Wiji yang merawat Yati dengan membersihkan kerangkengnya dan menyiapkan makannya.
Sementara kondisi Giman lebih memprihatinkan karena kerangkengnya digantung di dalam dapur rumahnya. Giman sendiri sehari-hari dalam kondisi telanjang bulat dengan rambut gondrong sebahu.
Meski begitu, Giman masih dimandikan oleh orangtuanya. Di kerangkengnya juga disiapkan handuk dan sajadah. Meski Giman memiliki kartu Jamkesmas, keluarganya belum pernah merujuknya ke RS Jiwa.
Koordinator Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) Jatim Arief Witanto saat dikonfirmasi temuan tiga warga yang dijebloskan ke kerangkeng oleh keluarganya, menyatakan fakta itu membuktikan progam nasional Indonesia bebas pasungan belum sampai ke masyarakat.
“Kasus itu membuktikan masyarakat termasuk pamong desa dan camat malah belum mengetahui adanya progam Indonesia bebas pasungan. Menteri Kesehatan harus lebih mendorong sosialisasi dan progam Indonesia bebas pasungan tersampaikan kepada masyarakat sehingga tidak ada lagi orang yang dipasung dan dikerangkeng,” harapnya.
No comments:
Post a Comment