Dalam rencana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membeli pesawat kepresidenan, Sekretariat Negara sudah mengajukan jawaban.
Alasan yang mereka ajukan adalah dengan membeli pesawat kepresidenan, meski seharga Rp 814 miliar, negara akan menghemat lebih banyak jika dibandingkan dengan menyewa pesawat seperti yang sudah dilakukan selama ini. Tepatnya lebih murah $ 32,136 juta (Rp 289,63 miliar) daripada biaya sewa pesawat kepresidenan selama lima tahun.
Kami menanyakan pada pembaca Yahoo! Indonesia apakah argumen bahwa membeli lebih menghemat daripada menyewa bisa menjadi pemakluman yang dapat diterima. Banyak yang menyatakan pembelian pesawat kepresidenan tetap tidak bisa masuk di akal. Alasannya, jika membeli dianggap lebih hemat, apakah Sekretariat Negara sudah menghitung biaya perawatan yang akan muncul berbarengan dengan semakin tua usia pesawat?
Salah satu pembaca, Wong Ndeso di Jakarta menulis, "Bukannya kalau membeli selalu dihitung modal beserta bunganya, ditambah dengan biaya operasionalnya, ditambah dengan biaya perawatan termasuk perawatan berbasis kalender yang harus dilakukan walaupun pesawat tidak dipakai? Sedangkan benefitnya adalah pemakaian pesawat yang paling hanya beberapa kali saja dalam sebulan ditambah pendapatan senilai harga jual pesawat jika kelak tidak dipakai lagi."
Selain itu, ia juga menambahkan, "Jika menyewa dari Garuda yang merupakan BUMN bukankah berarti memberi tambahan pemasukan kepada Garuda yang merupakan BUMN yang berarti kembali kepada negara?"
Komentar dari Wong Ndeso ini terpilih menjadi komentar favorit karena mendapat 25 suara dari pembaca dan 23 balasan.
Pembaca lain, REDzone dari Jakarta juga mengkritisi hitung-hitungan untung rugi yang diajukan oleh Sekretariat Negara. "Dengan menyewa, negara tidak direpotkan dengan maintenance pesawat, gaji pilot, gaji pelayan. Presiden cuma tinggal duduk dengan nyaman di kursi di mana uang sewa akan kembali ke negara (jika yang disewa adalah pesawat maskapai dalam negeri). Dengan membeli, negara akan direpotkan dengan persoalan maintenance, gaji pilot dan crew pesawat, sewa hanggar parkir pesawat."
Javku menyoroti kerugian yang muncul dari membeli pesawat daripada menyewa, terutama bagi BUMN yang selama ini menyewakan pesawat. "Menyewa pesawatnya ke BUMN, artinya duitnya keluar dari kantong kiri ke kantong kanan. Jadi kalau menyewa sebenarnya nggak ada kerugian, karena ujungnya itu duit balik lagi buat keuntungan BUMN yg disewa pesawatnya. Justru dengan beli kita kehilangan devisa dengan bayar ke perusahaan luar."
Selain biaya perawatan pesawat, Javku juga melihat akan muncul biaya pesawat saat idle, "karena pesawat kepresidenan ini pastinya bakal banyak menganggur di hanggar, jadi secara cost tidak efisien karena tidak digunakan secara komersial." Ia lebih melihat pesawat kepresidenan sebagai urusan gengsi semata.
Pembaca Juspa di Jakarta melihat pesawat ini akan lebih sering membuat Presiden jalan-jalan ke luar negeri dan ini, menurut dia, tidak akan bermanfaat banyak bagi masyarakat Indonesia. "Selama ini diplomasi selalu gagal kok," katanya soal perjalanan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke luar negeri.
Tumpulnya diplomasi Indonesia dalam pertemuan-pertemuan antarnegara juga menjadi perhatian Jinjer di Jakarta. "Diplomasi juga hasilnya tidak menguntungkan RI, malah merugikan. Buat apa? Sama saja mempermudah pihak asing mengeruk kekayaan negara."
Roel di Jakarta menyodorkan sudut pandang lain. "Seharusnya tolak ukurnya bukanlah Indonesia harus punya pesawat kepresidenan tapi sebenarnya seberapa sering Presiden akan mengadakan kunjungan ke luar negeri? Kalau keluar negerinya Presiden beserta menteri-menteri dan kolega-koleganya hanya untuk show of force bahwa kami dari Indonesia sudah pakai pesawat sendiri, ini tidak ada manfaatnya buat rakyat Indonesia karena merupakan pemborosan."
Prioritas, menurut Roel, lebih harus diletakkan pemerintah pada upaya membangun pabrik untuk mengolah bahan mentah menjadi bahan jadi beserta produk turunannya dan bisa dipasarkan ke luar negeri. "Nah kalau seperti ini barulah namanya Presiden beserta menteri-menterinya bekerja untuk rakyat. Menghutang barang mati artinya sama dengan menghutang barang yang tdk menghasilkan uang."
Meski begitu, tampaknya gengsi menjadi pertimbangan bagi mereka yang pro dengan rencana pembelian pesawat kepresidenan. Raffi Jimly di Bandung, misalnya. "Presiden sebagai simbol Negara, Indonesia yang kaya raya, fasilitas presidennya juga harus baik. Ini menyangkut harga diri bangsa lho. Nggak malu apa tiap kepala negara kita kunjungan kerja ke luar negeri sewa pesawat melulu yang pastinya standar keamanan dan fasilitasnya jauh berbeda dengan pesawat khusus kepresidenan? Setidaknya bisa sedikit memberikan kepercayaan buat negara asing bahwa negara kita kuat dari segi ekonomi."
Mieke Ls di Jakarta juga menyatakan, "Siapa yang akan jadi presiden berikutnya akan menjadi gampang untuk bernegosiasi dengan negara manapun karena negara kita tidak bisa disepelekan."
Ada beberapa pembaca yang juga menggunakan kata 'kebanggaan' dalam komentarnya mendukung pembelian pesawat. ArdhieCOM di Palembang mengatakan, "Kalau saya, bangga punya negara yang bisa beli pesawat, yang penting prosesnya transparan dan kalau pun ada ketimpangan kita serahkan saja ke pihak berwenang."
Atau kata Kong di Jakarta, "Perlu kita ketahui Indonesia adalah negara besar dan di kemudian hari akan semakin besar pula pengaruhnya di dunia ini. Oleh karena itu dituntut seorang kepala negara yang memiliki mobilitas sangat tinggi dan efisiensi waktu pula, kalau hanya mengandalkan pesawat sewaan dapat dipastikan akan banyak membuang-buang waktu dalam perjalanan dinas tanpa bisa berbuat apa-apa."
Sementara Sammy di Jakarta bertanya, "Apakah harus selalu traveling? Apakah harus punya pesawat agar dihargai? Apakah sudah mengefektifkan gaya manajemen? Apakah dengan adanya pesawat tidak akan lebih sering traveling, terutama keluarga presiden?"
Pertanyaan yang paling penting di situ adalah, kenapa pesawat harus menjadi alasan untuk punya kebanggaan? Bukankah seharusnya kita bangga pada hal-hal yang mendasar dari sebuah negara, seperti kesejahteraan ekonomi yang merata, adilnya penegakan hukum, serta rendahnya angka korupsi? Kenapa kebanggaan itu harus kita beli dan bukannya kita ciptakan?
Beberapa pembaca lain menyarankan agar perdebatan tidak terjebak dengan opsi membeli atau menyewa, tapi malah membuat sendiri.
Seperti kata Dewi di Jakarta, "PT DI itu buat apa dong? Cuma praktik bikin pesawat mainan?" Ada juga Tunggal di Jakarta yang menulis komentar, "Adalah akan lebih "bernilai nasional" kalau PT DI mendapat tugas membuat pesawat kepresidenan yang canggih, handal, efisien. Selanjutnya juga mungkin ada RI-001 dan RI-002 yang memberikan kehandalan berpergian tinggi, kalau yang satu ngadat masih ada yang satu lagi, sehingga tidak mengganggu kelancaran tugas presiden."
Alasan yang mereka ajukan adalah dengan membeli pesawat kepresidenan, meski seharga Rp 814 miliar, negara akan menghemat lebih banyak jika dibandingkan dengan menyewa pesawat seperti yang sudah dilakukan selama ini. Tepatnya lebih murah $ 32,136 juta (Rp 289,63 miliar) daripada biaya sewa pesawat kepresidenan selama lima tahun.
Kami menanyakan pada pembaca Yahoo! Indonesia apakah argumen bahwa membeli lebih menghemat daripada menyewa bisa menjadi pemakluman yang dapat diterima. Banyak yang menyatakan pembelian pesawat kepresidenan tetap tidak bisa masuk di akal. Alasannya, jika membeli dianggap lebih hemat, apakah Sekretariat Negara sudah menghitung biaya perawatan yang akan muncul berbarengan dengan semakin tua usia pesawat?
Salah satu pembaca, Wong Ndeso di Jakarta menulis, "Bukannya kalau membeli selalu dihitung modal beserta bunganya, ditambah dengan biaya operasionalnya, ditambah dengan biaya perawatan termasuk perawatan berbasis kalender yang harus dilakukan walaupun pesawat tidak dipakai? Sedangkan benefitnya adalah pemakaian pesawat yang paling hanya beberapa kali saja dalam sebulan ditambah pendapatan senilai harga jual pesawat jika kelak tidak dipakai lagi."
Selain itu, ia juga menambahkan, "Jika menyewa dari Garuda yang merupakan BUMN bukankah berarti memberi tambahan pemasukan kepada Garuda yang merupakan BUMN yang berarti kembali kepada negara?"
Komentar dari Wong Ndeso ini terpilih menjadi komentar favorit karena mendapat 25 suara dari pembaca dan 23 balasan.
Pembaca lain, REDzone dari Jakarta juga mengkritisi hitung-hitungan untung rugi yang diajukan oleh Sekretariat Negara. "Dengan menyewa, negara tidak direpotkan dengan maintenance pesawat, gaji pilot, gaji pelayan. Presiden cuma tinggal duduk dengan nyaman di kursi di mana uang sewa akan kembali ke negara (jika yang disewa adalah pesawat maskapai dalam negeri). Dengan membeli, negara akan direpotkan dengan persoalan maintenance, gaji pilot dan crew pesawat, sewa hanggar parkir pesawat."
Javku menyoroti kerugian yang muncul dari membeli pesawat daripada menyewa, terutama bagi BUMN yang selama ini menyewakan pesawat. "Menyewa pesawatnya ke BUMN, artinya duitnya keluar dari kantong kiri ke kantong kanan. Jadi kalau menyewa sebenarnya nggak ada kerugian, karena ujungnya itu duit balik lagi buat keuntungan BUMN yg disewa pesawatnya. Justru dengan beli kita kehilangan devisa dengan bayar ke perusahaan luar."
Selain biaya perawatan pesawat, Javku juga melihat akan muncul biaya pesawat saat idle, "karena pesawat kepresidenan ini pastinya bakal banyak menganggur di hanggar, jadi secara cost tidak efisien karena tidak digunakan secara komersial." Ia lebih melihat pesawat kepresidenan sebagai urusan gengsi semata.
Pembaca Juspa di Jakarta melihat pesawat ini akan lebih sering membuat Presiden jalan-jalan ke luar negeri dan ini, menurut dia, tidak akan bermanfaat banyak bagi masyarakat Indonesia. "Selama ini diplomasi selalu gagal kok," katanya soal perjalanan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke luar negeri.
Tumpulnya diplomasi Indonesia dalam pertemuan-pertemuan antarnegara juga menjadi perhatian Jinjer di Jakarta. "Diplomasi juga hasilnya tidak menguntungkan RI, malah merugikan. Buat apa? Sama saja mempermudah pihak asing mengeruk kekayaan negara."
Roel di Jakarta menyodorkan sudut pandang lain. "Seharusnya tolak ukurnya bukanlah Indonesia harus punya pesawat kepresidenan tapi sebenarnya seberapa sering Presiden akan mengadakan kunjungan ke luar negeri? Kalau keluar negerinya Presiden beserta menteri-menteri dan kolega-koleganya hanya untuk show of force bahwa kami dari Indonesia sudah pakai pesawat sendiri, ini tidak ada manfaatnya buat rakyat Indonesia karena merupakan pemborosan."
Prioritas, menurut Roel, lebih harus diletakkan pemerintah pada upaya membangun pabrik untuk mengolah bahan mentah menjadi bahan jadi beserta produk turunannya dan bisa dipasarkan ke luar negeri. "Nah kalau seperti ini barulah namanya Presiden beserta menteri-menterinya bekerja untuk rakyat. Menghutang barang mati artinya sama dengan menghutang barang yang tdk menghasilkan uang."
Meski begitu, tampaknya gengsi menjadi pertimbangan bagi mereka yang pro dengan rencana pembelian pesawat kepresidenan. Raffi Jimly di Bandung, misalnya. "Presiden sebagai simbol Negara, Indonesia yang kaya raya, fasilitas presidennya juga harus baik. Ini menyangkut harga diri bangsa lho. Nggak malu apa tiap kepala negara kita kunjungan kerja ke luar negeri sewa pesawat melulu yang pastinya standar keamanan dan fasilitasnya jauh berbeda dengan pesawat khusus kepresidenan? Setidaknya bisa sedikit memberikan kepercayaan buat negara asing bahwa negara kita kuat dari segi ekonomi."
Mieke Ls di Jakarta juga menyatakan, "Siapa yang akan jadi presiden berikutnya akan menjadi gampang untuk bernegosiasi dengan negara manapun karena negara kita tidak bisa disepelekan."
Ada beberapa pembaca yang juga menggunakan kata 'kebanggaan' dalam komentarnya mendukung pembelian pesawat. ArdhieCOM di Palembang mengatakan, "Kalau saya, bangga punya negara yang bisa beli pesawat, yang penting prosesnya transparan dan kalau pun ada ketimpangan kita serahkan saja ke pihak berwenang."
Atau kata Kong di Jakarta, "Perlu kita ketahui Indonesia adalah negara besar dan di kemudian hari akan semakin besar pula pengaruhnya di dunia ini. Oleh karena itu dituntut seorang kepala negara yang memiliki mobilitas sangat tinggi dan efisiensi waktu pula, kalau hanya mengandalkan pesawat sewaan dapat dipastikan akan banyak membuang-buang waktu dalam perjalanan dinas tanpa bisa berbuat apa-apa."
Sementara Sammy di Jakarta bertanya, "Apakah harus selalu traveling? Apakah harus punya pesawat agar dihargai? Apakah sudah mengefektifkan gaya manajemen? Apakah dengan adanya pesawat tidak akan lebih sering traveling, terutama keluarga presiden?"
Pertanyaan yang paling penting di situ adalah, kenapa pesawat harus menjadi alasan untuk punya kebanggaan? Bukankah seharusnya kita bangga pada hal-hal yang mendasar dari sebuah negara, seperti kesejahteraan ekonomi yang merata, adilnya penegakan hukum, serta rendahnya angka korupsi? Kenapa kebanggaan itu harus kita beli dan bukannya kita ciptakan?
Beberapa pembaca lain menyarankan agar perdebatan tidak terjebak dengan opsi membeli atau menyewa, tapi malah membuat sendiri.
Seperti kata Dewi di Jakarta, "PT DI itu buat apa dong? Cuma praktik bikin pesawat mainan?" Ada juga Tunggal di Jakarta yang menulis komentar, "Adalah akan lebih "bernilai nasional" kalau PT DI mendapat tugas membuat pesawat kepresidenan yang canggih, handal, efisien. Selanjutnya juga mungkin ada RI-001 dan RI-002 yang memberikan kehandalan berpergian tinggi, kalau yang satu ngadat masih ada yang satu lagi, sehingga tidak mengganggu kelancaran tugas presiden."
No comments:
Post a Comment